Thursday, February 28, 2013

Ukhuwah Sampah!


hiruk-pikuk itu (lagi)


Ukhuwah sampah !!

Heuh, mana? Katanya "karena kita keluarga" ??

Kecewa.



------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Menyesak. Tetiba rasanya makin menyesak. Makin jauh berjalan makin penuh kekecewaan. Makin merasa ada yang salah dengan yang namanya ukhuwah. Iya, pasti ada yang salah.

Akhir-akhir ini, beberapa kejadian dan cerita orang, dan yang beberapa kali teralami sendiri, membuat saya agak mempertanyakan kemanakah gerangan perginya kata yang dulu sering diulang-ulang itu?
Marah, kesal, sedih, kecewa, teraduk-aduk jadi satu rasanya. Jadi terpikir, apa bedanya kata itu dengan gincu? Cuma dijadikan pemanis bibir.

Ah, sudah lama saya tidak merasa sekesal ini.

Pasti ada yang salah. Tidak, bukan aku, kamu, ataupun kamu. Lebih dari itu.

Entahlah. Mungkin yang salah adalah pertama karena masing-masing kita terlalu sering menempatkan diri sebagai objek dalam perkara ukhuwah ini. Dan akhirnya tanpa sadar melupakan asas ketersalingan.

Kamu harusnya kenal saya. Tahu hobi saya. Tahu dimana rumah dan asal saya. Tahu tempat dan tanggal lahir saya. Tahu hari-hari penting dan bahagia bagi saya. Oh iya, agak sedikit ralat, bukan hanya tahu, harusnya kamu ingat. Kan, katanya kita keluarga, lebih dari sekedar sahabat.

Kamu harusnya pahami saya, dong. Memahami kenapa saya marah. Memahami kenapa saya bisa tergelincir dan salah. Memahami juga apa-apa yang saya ingini. Memahami atau setidaknya selalu berusaha memahami atas apa-apa yang saya kerjakan dan alami.

Kamu harusnya memperhatikan saya. Menolong saya. Berprasangka baik pada saya. Mendahulukan saya. Pokoknya objeknya "saya". Lalu kamu? Sudah selesai belum bab tentang "saya"? Kalau sudah barulah beranjak ke bab "kita". Tentang kamu, ah, bukankah sudah terangkum pada kata "kita"? Ayolah, jangan terlalu banyak menuntut dan manja.


Begitulah, terlalu sering masing-masing dari kita, ah harusnya untuk kali ini barulah lebih tepat jika diganti dengan saya. Terlalu sering saya memandang dari apa yang saya terima, bukan apa yang saya beri. Selalu jeli dan mengevaluasi hak-hak saya yang mereka lupa dan sering menyederhana (atau menyepelekan lebih tepatnya) tentang kewajiban-kewajiban persaudaraan yang alpa saya kerjakan.

Menyadari hal ini begitu terasa tamparan kerasnya bagi diri.

Dan yang selanjutnya, kesalahan yang kedua, fiuh.. hampir-hampir tak sanggup saya melanjutkannya. Ini pertanyaan besar dan dasar yang sering kali terlupakan. Pertanyaan itu adalah

Mengapa berukhuwah?

Karena memiliki tempat kegiatan yang sama? Lalu apa bedanya dengan segerombolan geng motor ada sekelompok pengedar narkoba?

Karena sering bercakap dan saling mendengar cerita? Customer service juga dengan ramah mendengarkan kita.

Karena seiya-sekata dan sering bersama?

Atau apa? Karena alasan yang begitu remeh-temeh lainnya? Perkara-perkara dunia?
Ah, pantas saja selalu merasa kecewa.

Telah lupakah penyebab mengapa ukhuwah bisa begitu terasa indah?
karena manusia-manusia di dalamnya sajakah?
Tentu saja tidak. Ini karena Dia. Jika dan hanya jika semua ini terjalin karena Dia.




“Ada tiga golongan yang dapat merasakan manisnya iman: orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari mencintai dirinya sendiri, mencintai seseorang karena Allah, dan ia benci kembali pada kekafiran sebagaimana ia benci jika ia dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Imam Bukhari)




“Di mana orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, maka hari ini aku akan menaungi mereka dengan naungan yang tidak ada naungan kecuali naunganku.” (HR. Imam Muslim)




“Ada seseorang yang mengunjungi saudaranya di sebuah desa. Di tengah perjalanan, Allah mengutus malaikat-Nya. Ketika berjumpa, malaikat bertanya, “Mau kemana?” Orang tersebut menjawab, “Saya mau mengunjungi saudara di desa ini.” Malaikat bertanya, “Apakah kau ingin mendapatkan sesuatu keuntungan darinya?” Ia menjawab, “Tidak. Aku mengunjunginya hanya karena aku mencintainya karena Allah.” Malaikat pun berkata, “Sungguh utusan Allah yang diutus padamu memberi kabar untukmu, bahwa Allah telah mencintaimu, sebagaimana kau mencintai saudaramu karena-Nya.” (HR. Imam Muslim)




“Sesungguhnya di sekitar arasy Allah ada mimbar-mimbar dari cahaya. Di atasnya ada kaum yang berpakaian cahaya. Wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukanlah para nabi dan bukan juga para syuhada. Dan para nabi dan syuhada cemburu pada mereka karena kedudukan mereka di sisi Allah.” Para sahabat bertanya, “Beritahukanlah sifat mereka wahai Rasulallah. Maka Rasul bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, bersaudara karena Allah, dan saling mengunjungi karena Allah.” (Hadis yang ditakhrij Al-Hafiz Al-Iraqi, ia mengatakan, para perawinya tsiqat)




“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS: Al-Zukhruf: 67)



Dan yang ketiga, mungkin saja terlupa bahwa, meski ukhuwah ini adalah suatu ketersalingan, di sini juga berlaku hukum bersegera, berlomba-lomba, dan bahkan siapa yang lebih baik dari siapa dalam mempersembahkan "ahsanu amala". Tak ada saling menunggu, menunggu dia baik baru dibalas baik, menunggu dia menanyakan kabar baru kita sebaliknya, menunggu diperhatikan baru memperhatikan, menunggu dicintai baru mencintai. Tak ada. Sekali lagi, ini tentang berlomba-lomba menjadi yang paling dicintai-Nya..

“Apabila dua orang saling mencintai karena Allah, maka yang paling utama adalah yang paling mencintai rekannya” (Shahih, diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd (712) dan Abdullah bin Wahab dalam Al-Jaami’ (hal. 36) dari jalur Ibnu Lahi’ah)





terjadi lagi yang begini
dan memang seharusnya selalu begini, bahwa apa-apa yang terjadi semenyenangkan atau semenyakitkan apapun tak boleh hanya lewat dan tak memberi pelajaran dan perbaikan bagi diri..








kuatkanlah ikatannya
tegakkanlah cintanya
tunjukilah jalan-jalannya

terangilah dengan cahyaMu
yang tiada pernah padam
ya Robbi bimbinglah kami





No comments:

Post a Comment