Monday, February 4, 2013

Sampai Habis


surat imajiner #3

Kau tahu kan bahwa surat ini tak akan pernah benar-benar aku kirimkan. Namun setidaknya aku menulisnya di sini, tidak menggoreskan di atas kertas lalu kusimpan di laci. Karena mungkin saja suatu hari kau tak sengaja tersasar kemari dan membacanya. Haha.



Sudah lama aku memutuskan untuk menuliskan apa-apa yang aku rasakan dan pikirkan ketimbang membicarakannya. Kau tahu mengapa? Karena aku tak yakin kau punya waktu (dan tentu saja tak yakin apa kau mau) untuk mendengarkan. Ah, abaikan kalimatku yang ketiga.

Sebenarnya karena...hmm, kau tahu kan bahaya lisan? Ah, tentu saja, kau pasti jauh lebih paham.
Dan kaumku (atau kaum kita?) begitu banyak yang terjerumus ke neraka karenanya. Mengerikan, bukan?


“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (Al-Balad: 8-10)


“Sesungguhnya seorang hamba berkata, (bisa saja) dengan perkataan itu menyebabkannya terperosok ke dalam api neraka, yang lebih jauh dari jarak antara timur dan barat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata –seakan-akan ia melihat realitas kehidupan orang pada hari ini-, “Anehnya, seseorang begitu mudah menjaga diri dari memakan makanan haram, tindakan zhalim, zina, mencuri, minum khamar, melihat yang haram, dan lain sebagainya, tetapi ia sulit menjaga lidahnya. Kamu bisa melihat orang yang terpandang dalam urusan agama, ahli ibadah dan seorang zuhud, tetapi ia mengucapkan kata-kata yang menuai murka Allah, sedangkan dia tidak peduli sama sekali. Dengan satu kata saja ia bisa tergelincir ke dalam api neraka lebih jauh dari jarak antara timur dan barat. Betapa banyak kamu melihat orang yang mejaga diri dari kekejian dan kezhaliman, tetapi lidahnya selalu menodai kehormatan orang yang hidup dan yang sudah meninggal dunia, tanpa sedikit pun memikirkan apa yang ia ucapkan.”




Jadi kau memutuskan diam?

Ya, tidak sepenuhnya diam. Setidaknya berusaha agar kerja lisan ini berkurang. Benar-benar berusaha agar tak banyak bicara yang tak berguna.

Oh, jadi selama ini sudah pendiam? banyak bicaranya jadi agak tak terbayang -_-a

Ahaha, standar intensitas bicara setiap orang sepertinya agak berbeda,kawan.. (duh,semoga bukan pembenaran).

Tapi karena sedemikian banyak yang terkadang meloncat-loncat dalam pikiran dan perasaan, mendesak-desak ingin dikeluarkan maka aku harus tetap memberinya jalan. Ya, dan semua itu setidaknya bisa terfasilitasi lewat tulisan.

Lewat menulis aku bisa marah, menumpahkan kekesalan, menumpahkan ceracau galau, mengeluarkan lintasan-lintasan pemikiran, membiaskan rona-rona rasa yang jingga, ah, semua..
dan asiknya, semua tidak tercurah begitu saja, ada jeda untuk memilih kata. Ada jeda untuk sekali lagi membaca dan mengganti kalimatnya. Ada jeda untuk lagi-lagi membacanya, merenungkannya, dan akhirnya memutuskan untuk membaginya pada mata yang lain atau menghapusnya saja.

Aha, itu dia, tentang menjeda.
Sesuatu yang sulit aku dapatkan dan lakukan ketika berbicara. Ketika berbicara sulit sekali menjeda, bukan  sekedar untuk memilih kata, tapi juga untuk memilih intonasi dan ekspresi. Yang akhirnya tanpa sadar semua terlanjur diutarakan, dan tak jarang menjadi salah dan menyakitkan.

Hari ini juga ada yang mengirimkan pesan,

"teruslah menulis..
sampai habis, 
sampai habis semua tulisan kita yang buruk dan akhirnya hanya tulisan-tulisan yang baik yang bisa kita hasilkan.."



Oia, walaupun aku telah sering menuliskan, tapi katanya bagi wanita adalah suatu hal yang penting untuk sering didengarkan. Maka aku berharap, suatu hari nanti kau akan setia mendengarkan.

Oh, dan tenang saja, aku juga akan selalu melatih dan berusaha menjaga diri terhadap apa-apa yang aku ucapkan agar semua tetap sesuai dengan apa yang Ia tuntunkan.

Doakan aku, ya ^_^







6 comments:

  1. menulis adalah rindu,,

    rindu mata pena menggores lembut pada selembar kertas,,
    rindu selembar kertas akan dekapan wangi amplop-amplop jingga,,
    rindu amplop jingga akan uluran hangat jari jemari,,
    serta rindu jari jemari pada sang pena untuk segera membalasnya,,

    tapi lebih dalam dari itu semua,,

    adalah rindu tulisan pada pembacanya,,

    ***

    Assalamu'alaykum

    pertama2,, aamiin,, semoga teteh selalu terjaga diri terhadap apa-apa yang diucapkan agar semua tetap sesuai dengan apa yang Ia tuntunkan,,

    kedua,, saya ko kurang setuju "sampai habis tulisan yang buruk" dan "hanya tulisan-tulisan yang baik yang bisa kita hasilkan" apakah bisa?
    -_-a
    saya bukannya mengecilkan potensi teteh lho,, saya yakin kalo teteh bisa lho,,

    kalo saya mah dah underestimate ma diri saya sendiri,,
    -_-a
    sebab manusia adalah tempat salah dan,, err,,, teteh pasti jauh lebih paham dari saya,,

    nah, itu,,

    saya jadi lebih suka kalo pesan yang dikirimkan berbunyi demikian :
    "menulislah, berusahalah menulis sebaik-baik tulisan, hingga engkau siap melisankannya",,
    begitu?
    meski kelihatannya tidak sesuper kalimat sebelumnya sih,,

    karena seindah-indahnya tulisan, tak akan pernah bisa menggantikan - dan tak akan bisa menghindarkan kita dari - ucapan lisan,,

    kata-kata yang tulus, meluncur begitu saja, tak dibuat-buat, dan apa adanya,,

    sehingga saya yakin, sebenar-benarnya akhlak dari seseorang tercermin dari apa yang keluar dari lisannya,,

    yah, tapi itu sekedar pendapat sih,, maaf jika saya terlalu sering menampakkan diri dengan komentar yang tak berarti,,

    tetep semangat teh,,

    ReplyDelete
    Replies
    1. tapi lebih dalam dari semua itu,
      menulis adalah
      rindu para penulis pada para pembacanya.


      wa'alaykumussalam warahmatullah wabarakatuh..

      ya, mungkin maksud si pengirim yang mengirim pesan "sampai habis tulisan yang buruk" dan "hanya tulisan-tulisan yang baik yang bisa kita hasilkan" adalah untuk menyemangati juga.
      karena terkadang ada yang enggan menulis sebab merasa tulisannya buruk padahal semakin sering menulis akan semakin terbiasa untuk mengevaluasi juga, sehingga tulisannya makin baik dari hari ke hari.
      *haha, bahasa saya baku banget,ya

      oia, kenapa manggilnya "teteh" sih, kak?
      bukannya katanya kakak (lebih) tua?
      asa pabaliut (eh, ngerti bahasa sunda ga,ya? -_-a)

      Delete
  2. "rindu para penulis pada para pembacanya"?

    Hohoo,,, bukan saya lho yang bilang,,
    -_-a
    saya mah lebih suka rindu "tulisan pada pembacanya" atau "rindu kata pada pengejanya",,

    berasa lebih universal,,

    seperti rindu Al Qur'an pada para pembacanya, yang di hari kiamat nanti, akan datang menemui orang-orang yang dulu mentadabburinya, dan memberikan syafaatnya,,

    ***

    kenapa manggilnya teteh,,, mungkin karena kebiasaan aja,,
    -_-a
    sebab ada yang manggil Lintang pake teteh,,
    jadinya ikut2an,,

    emank kalo ngga teteh terus manggilnya apa donk?

    ***

    saya bukan urang sunda,,
    -_-a
    jadi ngga tau bahasanya,,
    tapi kalo sekedar "asa pabaliut" sih tau,,

    ReplyDelete
    Replies
    1. emang kalimat "rindu para penulis pada para pembacanya" ga universal ya?
      O_o
      #abaikan

      ho,lintang aja kalo gitu,soalnya berasa aneh aja dipanggil teteh sama yang lebih senior.
      asal bukan "wahyu" atau "mukti"
      dan juga asal ga pake "mas" atau "akang", soalnya banyak juga yang awalnya manggil pake kata-kata itu -____-"

      Delete
  3. hahaha,, ya ngga pa2 sih,,
    kesannya terlalu langsung gitu,,
    :D
    tapi ngga pa2 sih kalo Mukti eh Wahyu eh Lintang maunya merindukan pembacanya,,,

    ***

    Wah mirip saya,,
    saya juga sering dipanggil "mbak",, kalo belum liat wajah saya,,
    -_-a

    ReplyDelete
    Replies

    1. emang nama kakak apa(eh,siapa)? kok bisa dipanggil "mbak"?
      oia, kata pepatah inggris, curiousity kill the cat

      Delete