Sunday, January 27, 2013

Keinginan

surat imajiner #1


Hai, apa kau juga belum tidur saat ini? Kau tahu, beberapa waktu aku mengikuti pranala menuju "rumah"-mu. Sebenarnya tak banyak berharap kau akan sadar kalau aku tengah bertamu. Hanya sedikit ingin melihat jejak jemarimu dan juga remah-remah cerita yang mungkin tertinggal di sana. Ya, berkunjung kesana atau berdoa untukmu, kau pikir apalagi yang bisa aku lakukan jika rindu sudah terlalu?

Oia, apa kau punya keinginan?
Ah, pertanyaan macam apa itu? Kau boleh saja menertawaiku dengan pertanyaan balik itu. Haha, pertanyaan yang terdengar agak bodoh memang. Aku hampir saja lupa bahwa beberapa waktu yang lalu kau pernah mengatakan.... ah, dan bukankah yang kau katakan itu adalah juga sebuah keinginan?

Keinginan.
Ya, keinginan. Akhir-akhir ini aku banyak merenungkannya. Aku masih ingat, tak banyak keinginan yang memenuhi dadaku ketika aku masih seorang kanak-kanak. Kalau bukan harum manis, pasti gulali, atau bermain bersama dengan bocah-bocah lain yang jadi keinginanku waktu itu. Sederhana saja. Hingga kalaupun tak kesampaian mendapatinya, ya sudah. Tak apa. Atau mungkin paling banter hanya akan menangis. Lalu lupa. Lalu bermain. Lalu tertawa lagi. Selesai. Sesederhana itu memang.

Tapi sekarang..., begitu luar biasanya keinginan itu menjejali mimpi malam-malam. Membuatku terkadang berpikir, atas dasar apa keinginan itu begitu saja menghuni jiwaku. Apakah hanya nafsu belaka, remeh temeh duniawi, keisengan, atau apa. Apakah keinginan itu telah benar, apakah keinginan itu sudah baik. Atau, ah, aku bahkan telah sungguh-sungguh jarang mempertanyakannya.

Kau tahu? 
Pertanyaan ini mungkin menyulitkan, tapi aku mesti sering-sering menggumamkannya; apakah keinginan-Nya telah menjadi keinginanku? Memalukan sekali kala pertanyaan ini mengemuka. Malu pada diri sendiri, juga tentunya malu pada-Nya. Betapa diri ini, betapa keinginan yang telah melekat dengan liat ini, seringkali hanyalah sekumpulan remeh-temeh dunia, hanyalah sejumput kesenangan sesaat. Tak lebih. Hanyalah keinginan yang berdasar tafsir pribadi yang individualistik dan dangkal.


Belakangan ini ada keinginan-keinginan lagi menghuni benakku. Ada beberapa, menjadi sebuah paket yang aku harap mewujud satu. Aku boleh jadi telah bersikap atas dasar keinginan itu. Yang aku harapkan benar, tepat, juga baik. Hingga aku mesti sering-sering berdoa karenanya, agar keinginan-keinginan itu juga benar. Agar keinginan itu memang representasi dari keinginan-Nya. Sebab hanya dengan itu lah, langkah yang diambil juga menjadi benar.

Mau sedikit bocoran? Diantara sekian banyak keinginan-keinginan itu, selain tentang aku (tentu saja), ada juga beberapa tentang kamu. Aku? Kamu? Kita?? Ahaha, sungguh..aku tidak akan memulai lagi apa yang sudah kuakhiri sendiri. Ya, tentang kita, tapi dengan dimensi yang lebih luas dan rona yang lebih bersahaja, tak lagi jingga-jingga.

Begitulah.. Jadi doakan aku, ya. Sebab boleh jadi bukan karena doaku lah semua ini terkabul. Tapi justru oleh karena doa orang-orang sepertimulah, orang-orang yang ikhlas berdoa untuk saudaranya, semuanya menyata. Semuanya menjelma.


Oh,ya..satu hal lagi.
Maafkan aku juga, ya. Atas kesalahanku yang kau sadari maupun tak. Ini rumit. Aku yakin, kau akan dengan mudah memaafkanku atas kata-kataku yang kadang tak terkontrol, atas kesalahan-kesalahan yang nampak itu. Tak kupintakan maaf pun, dengan kebesaran hatimu itu, aku yakin kau telah memaafkannya, lalu melupakannya. Tapi atas kesalahan yang mungkin tak kau sadari, aku merasa perlu menegaskannya; maafkanlah aku. Sepertinya banyak sekali prasangka baikmu yang sama sekali tak kutunaikan. Banyak pula harapan-harapan indahmu tentangku yang tak jua aku wujudkan. Aku bahkan menjauh darinya. Tak juga berbenah. Tak segera bangkit.

Namun begitu, jangan lelah untuk berprasangka baik, ya. Aku hanya perlu lebih tekun, lalu berdoa seperti sahabat Abu bakar berdoa, “ya Allah, jadikanlah aku lebih baik dari semua yang mereka sangkakan, dan ampuni aku atas aib-aib yang tak mereka tahu”


Seperti itu.. 
Wah, sudah semakin larut. Kau harus segera beristirahat. Bukankah senin esok kau sudah harus kembali masuk kerja dan beraktivitas. Ah, itu pun jika kau memang selama ini dari senin sampai jumat terikat kerja seperti yang lainnya.



2 comments:

  1. hai kau,,
    yang selalu duduk di masjid salman,,
    sang penyayang pelangi si pecinta hujan,,

    aku di sini,,
    terpapar mentari,,
    kotor, tak beralas kaki,,

    jangan menengok karena aku tak ingin dilihat,,
    jangan pula beranjak karena aku tak ingin kau mendekat,,
    jangan menebak karena bayangmu tak mungkin tepat,,

    maka tetaplah di situ, berdzikir dan menunggu,,

    menunggu awan memayungiku,,
    menunggu rintiknya membasuh kakiku,,
    menunggu derasnya membersihkanku,,

    menungguku,,
    memantaskan diri lalu menjemputmu,,

    ***

    Ahaha,, pengen bikin surat balasan, eh malah ngegombal,,
    -_-a
    maaf sebelumnya,, dihapus juga ngga pa2,,

    betewe, saya suka tulisan-tulisan di blog ini,,
    :)
    semangat menulis ya,,

    terima kasih sebelumnya,,

    ReplyDelete
    Replies
    1. menunggu?
      kau tahu? menunggu bagiku bukan suatu hal yang menyenangkan, tapi tenang saja, untuk yang satu ini sepertinya aku akan selalu menyiapkan waktu dan tak akan pernah bosan.

      ***

      hoho, terimakasih banyak ya atas kunjungannya..
      jarang sekali ada yang mengerti "bahasa" saya dan bisa membalasnya dengan sedemikian manis dan tepat, haha

      Delete