Thursday, January 3, 2013

Berkenalan






“ada beberapa hal yang kita sudah berusaha untuk menyakinkan tapi hati begitu kuat untuk merasa ketakutan”


Jika ada yang bertanya tentang seseorang yang paling anda kenal, kira-kira…siapakah seseorang yang kemudian, dari lisan kita, akan dengan sangat mulus meluncur namanya. Ah, barangkali kemungkinan untuk itu akan banyak. Beberapa mungkin akan menyebut salah satu anggota keluarganya, atau suami/istrinya, atau salah seorang temannya, atau kelompok lingkarannya, atau teman sekamar ngekosnya. Tapi, kalau saya tak salah, seseorang lain mungkin akan kesulitan menyebutkan satu orang pun yang memang paling ia kenal.

Begitupun saya. 



Jika pertanyaan itu ditujukan ke saya, mungkin saya akan butuh waktu beberapa jenak untuk menggali semuanya dari pikiran saya, untuk kemudian menyebutkan sebuah nama, yang barangkali, meskipun sudah meluncur dari mulut saya, saya tak benar-benar yakin akan kebenarannya. Bagaimanalah, kata mengenal itu belum juga saya pahami standarnya. Karena saya boleh jadi belum benar-benar mengenal diri saya sendiri—ah, bukankah ini kecelakaan? Ketika sebuah hal yang dulu begitu saya yakini, saya sadari tentang bagaimana-bagaimananya, hanya dalam hitungan hari yang bahkan tak mencapai sepekan, saya ragukan kembali adanya. Mungkin ini masalah fluktuasi perasaan, pemikiran, atau apalah, tapi ini juga boleh jadi mengindikasikan tentang ketaktahuan saya tentang apa-apa yang sebenarnya saya ingini dan butuhkan.

Baiklah, lupakan paragraf kedua di atas! 

Tentang mengenal ini, boleh jadi akan panjang. Ketika kau sudah tahu tentang kegemarannya, tentang makanan favoritnya, tentang warna kesukaannya, atau tentang kesehariannya, apakah itu sudah dikatakan telah mengenal? Atau, ketika kau sudah tahu tentang obsesi-obsesinya, harapan-harapannya, pandangan-pandangannya tentang masa depan, atau orientasi hidupnya, apakah itu juga sudah layak dikatakan telah mengenal? Entahlah! Mungkin iya, mungkin belum. Atau, mungkin dikatakan iya dengan tingkatannya; cukup, lumayan, relatif. Tapi tidak tingkatan ‘benar-benar’.

Tapi memang tak ada yang namanya benar-benar mengenal. Jika kasus ini disematkan pada mengenal makhluk, manusia pula, tentunya tak ada yang namanya ‘benar-benar’, dimana itu menunjukkan sebuah kekomplitan, atau akhir. Tentu saja, sebab manusia bukanlah sebuah makhluk yang statis yang sama sekali tak mengalami perubahan. Di setiap waktunya, akan ada yang berubah dengannya. Entah cara berpikir, pengetahuan, tingkatan iman, atau kebugaran, yang mana akan membentuk sebuah tindakan yang barangkali tidak kita bayangkan akan ia lakukan dua jaman yang lalu.

Bahkan seorang suami, atau istri, butuh sepanjang hayat untuk mengenal pasangannya. Ketika sebuah ikatan pernikahan telah menyatukan mereka, dimana rumah telah menaungi mereka dalam sebuah wadah fisik, dimana waktu telah sama-sama mereka jalani dalam kebersamaan, ternyata kata mengenal itu belum juga berujung pada ‘benar-benar’. Ada saja hal-hal baru yang bakalan tertemui, yang boleh jadi menjadikan satu sama lain tercengang, kaget, atau yang sejenisnya. Sebab kita memang makhluk yang hidup. Hanya sebuah pemahaman akan keberadaan, akan fungsi masing-masing, akan tujuan kebersamaan, menjadikan kebaruan itu hanyalah sebuah data pengaya dari bank kemengenalan satu sama lain.

Jika seorang pasangan yang sudah menjalani bertahun-tahun kehidupan bersama saja belum juga bisa dikatakan telah benar-benar mengenal, maka apa jadinya kita terhadap seorang teman kuliah, atau rekan kerja, atau teman jalan, yang mana intensitasnya kalah jauh bila dibandingkan dengan sepasangan itu. Ya, tentu saja masih jauh dari kata mengenal. Tapi tidak mustahil juga untuk mencapai taraf ‘cukup mengenal’. Pernah menginap bersama tiga hari berturut-turut, melakukan perjalanan bersama, serta pernah melakukan transaksi ekonomi, adalah pedoman yang bagus untuk standar kemengenalan kita akan seseorang. Sebab ketiga hal tersebut memang telah benar-benar mengurangi potensi kepura-kepiraan kita satu sama lain. Ya, mungkin ‘topeng’ itu belum sepenuhnya lepas, tapi sudah tak terlalu tebal, hingga satu sama lain akan dengan mudah mengintip sedikit wajah.

Siapakah yang lebih dulu mengajak sholat, bagaimanakah cara dia membuka keran air, kaki apa yang ia dahulukan saat masuk toilet, apakah dia terbiasa tak menghabiskan makanan di piringnya, jam berapa ia bangun, apa reaksinya ketika dalam keadaan panik, apa pula yang ia serukan pertama ketika melihat keindahan, bagaimana cara dia menghadapi kondisi diri yang tidak benar-benar dalam keadaan semangat, apa yang lebih sering ia lakukan untuk mengisi kesenggangan, apakah ia selalu menghabiskan air minum dalam segelas air mineral, adalah hal-hal kecil yang barangkali akan secara intens dapat kita amati dari seseorang yang kita ajak melakukan perjalanan dan menginap bersama. Hal-hal kecil mungkin, tapi dengan sedikit kejernihan akan menunjukkan tentang kebesaran. Tentang bagaimana seseorang membuka keran air saat wudhu, apakah lebar-lebar ataukah secukupnya, adalah sebuah fragment yang sedikit banyak akan menunjukkan kepada kita tentang concern seseorang tersebut –tentang lingkungan, tentang kaidah tak berlebihan, tentang keistiqomahannya meneladani nabinya. Begitu juga lainnya.

Begitulah, frase ‘mengenal seseorang’ pada akhirnya berbeda dengan frase lain semisal ‘makan nasi’. Bila makan nasi, kita bisa saja mengatakan ‘sedang makan nasi’ atau ‘telah makan nasi’. Tapi ‘mengenal sesorang’ agaknya tak akan pernah sampai pada taraf ‘telah mengenal’. Sebab itu adalah sebuah proses yang tak akan berkesudahan dan terus-menerus, sebab memang ada variabel waktu sebagai pembentuknya.

Terakhir, sebagai penutup corat-coret iseng ini, apakah kau telah mengaku mengenal saya? 

Bila kau telah membaca sekian banyak corat-coret saya yang boleh jadi menyiratkan harapan, obsesi, dan pemikiran-pemikiran saya, mungkin kau akan mengatakan ‘cukup mengenal’. Tapi menurut saya, sepertinya kau sama sekali tak mengenal saya. Kau cukup mengenal ‘hati tiga dimensi’ mungkin iya, tapi kau cukup mengenal saya sepertinya tidak. Sebab antara saya dan 'hati tiga dimensi' memang ada pemisah bernama kata-kata. Dan saya, amat mungkin menyembunyikan banyak dibalik kata-kata itu, yang boleh jadi amat busuk. Maka bila kau ingin tahu tentang saya, mungkin kau bisa bertanya pada teman serumah saya, atau teman sekamar ngekos dulu, atau teman tempat membagi resah. Tapi sepertinya itu juga belum cukup. Sangat belum cukup.

Ah, lintang menceracau!



“dan Dia (Allah) yang Mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah Mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana” (QS Al-Anfaal:63)


1 comment: