Saturday, March 9, 2013

Berhentilah Berprasangka Baik


Standar terendah dari ukhuwah adalah berprasangka baik pada saudara. Ya, lalu apa yang salah? Mengapa harus berhenti?

Hei! Bukankah itu adalah standar terendah?
Terkadang saya berpikir bahwa terlampau lama berperasangka baik (saja), yang sejatinya membiarkan rasa ukhuwah berada pada tingkat paling bawah, adalah tindakan yang luar biasa pragmatis dan apatis (wah, jangan-jangan saya sudah mulai berprasangka buruk -_-a)



Hmm.. begini misalnya, kita sedang bertamasya di tepi pantai sambil santai-santai menikmati nyiur yang melambai-lambai sambil makan semangkok gulai (maksa). Lalu salah satu teman kita ada yang berenang di pantai tersebut. Awalnya kita melihat dia asik-asik saja bermain air. Beberapa saat kemudian kita melihat dia melambaikan tangan.
"eh, dia kok ngangkat-ngangkat tangan gitu,ya?"
"Oh, kayaknya pengen dadah-dadah (melambaikan tangan -red) aja sama kita"-->(sok) husnudzon ceritanya
"eh, tapi kok melambainya makin semangat,ya? ga kenapa-kenapa gitu?"
" udah, santai aja. Dia jago kok renangnya..dua hari yang lalu baru belajar"
"eh..eh..tapi kok dia udah ga keliatan, ya? jangan-jangan dia tenggelam!"
"Oh, paling dia lagi nyelam buat liat-liat pemandangan di dasar laut.."

dan beberapa hari kemudian teman yang disangka berenang tersebut diketemukan terdampar di Australia setelah ternyata terombang-ambing berhari-hari di lautan hindia. Alhamdulillah dalam kondisi hidup.

*tadinya endingnya mau dibikin agak dramatis, tapi ga sampai hati -_-"

dari ilustrasi sederhana (dan agak maksa) di atas (semoga) tergambar bahwa berprasangka baik itu harus pada tempatnya. Terus saja berprasangka baik tanpa adanya perhatian dan cek-ricek kondisi yang sebenarnya dari saudara kita adalah perbuatan dzalim menurut saya (semoga tidak berlebihan).

Bagaimana tidak, tanpa memperhatikan dan mencari tahu kondisi sesungguhnya bisa saja kita tidak tahu bahwa sebenarnya kondisi saudara kita benar-benar dalam kondisi bahaya atau setidaknya memerlukan bantuan kita. Sementara kita merasa tak perlu peduli dan tak perlu membantu karena asik dengan fatamorgana " saya sedang berprasangka baik kok, saya yakin dia baik-baik saja.."
Pragmatis. Ingin tetap dikatakan bersaudara tapi merasa cukup hanya dengan berprasangka baik. Menutupi sikap yang sesungguhnya apatis dengan begitu manis.


Arrgghh..
ayolah..
sekali lagi, bukankah itu adalah level terendah? tak terbesitkah untuk beranjak dari sana?

Hmm, mungkin ini tentang strata amal. Selalu ada yang lebih baik yang bisa kita lakukan.
Berprasangka baik memang lebih utama dari berprasangka buruk. Namun berprasangka baik dengan diiringi tindakan penuh kepedulian atau setidaknya sedikit saja berusaha lebih memperjelas dengan cara menanyakan, bukankah itu lebih baik?

Bukankah ada luka tersayat yang mungkin hanya bisa dilihat dengan tatapan yang lekat? Atau bisa jadi ada yang menghilang karena terperosok dalam lubang.

Ah, jadi
ayolah..berhentilah untuk hanya berprasangka baik.







#sepotong pagi yang menyadarkan >.<
maaf kalau ada kata-kata yang terlalu kasar dan frontal.
untung saja di blog ini ga bisa nge-tag orang, dan mungkin sebenarnya memang tak perlu karena yang paling layak untuk diingatkan tentang hal ini sepertinya yang baru saja selesai menuliskannya
#plak!!




No comments:

Post a Comment