Teguran dari Allah memang bisa datang dari mana saja. Bahkan dengan cara yang nampak teramat sederhana..
Jumat kemarin, ketika membaca surat Al Kahfi, entah kenapa saya terhenti di suatu ayat, suatu kalimat lebih tepatnya. Terhenti karena merasa sulit sekali membacanya. Padahal ini bukan membacanya untuk kali pertama. Lidah ini seperti sulit sekali melafalkannya. Sampai-sampai saya mengulangnya nyaris sepuluh kali.
Kenapa ini ???
:(
akhirnya berhenti sejenak, beristighfar, kemudian melihat arti kalimat itu..
وَلْيَتَلَطَّفْ
"...dan hendaklah bersikap lemah lembut.." (QS Al Kahfi :19)
ah, tertohok.. benar-benar tertohok.
Ya,
dan hendaklah bersikap lemah lembut..
Sepekan kemarin memang sepertinya saya terlalu "keras" dalam memperlakukan beberapa orang. Mempersempit rentang toleransi dan pemakluman, sulit sekali menerima alasan, dan..ah, entah.. jadi mudah sekali melihat bahwa banyak hal yang (sepertinya) salah.
Jadi teringat ketika beberapa waktu yang lalu saya pergi ke Jakarta dan terlibat sebuah dialog dengan seorang kakak,
L: Setiap kali pergi ke Jakarta lintang makin yakin untuk ga mau tinggal di jakarta deh, kak..
F: Kenapa emang?
L: Lintang ngerasa kehidupan di sini keras banget. Toleransi dan kepedulian antar sesama kayaknya agak rendah gitu (sotoy)
F: Ya, mungkin itu karena setiap individunya memperlakukan diri mereka sendiri dengan keras. Masing-masing dari mereka merasa sudah menjalani kehidupan yang keras dan bahkan tidak banyak memberi toleransi pada diri mereka sendiri, makanya ketika mereka menghadapi orang lain mereka merasa orang lain pun seharusnya tidak mendapat banyak toleransi. Kasarnya, "enak aje, lu mau minta toleransi/kemudahan! Gue aja susah dapetnya"
L: (angguk-angguk)
Sepertinya begitu. Akhir-akhir ini mungkin saya merasa telah "keras" terhadap diri sendiri sehingga sulit sekali bagi saya menerima udzur atas suatu kesalahan dan memberikan toleransi.
dan hendaklah bersikap lemah lembut..
Ah, lintang. Bukankah ini sudah lebih dari cukup untuk mengingatkan?
Sejak kapan seorang muslim boleh memperlakukan saudaranya seperti itu? "Menyama-nyamakan ukuran sepatu". Mengukur-ukur dan membuat batas tolerasi semau sendiri.
Bukankah seorang muslim adalah jaksa penuntut yang ulung bagi dirinya sendiri?
Keras, tegas, penuh curiga, selalu berusaha mencari-cari kesalahan, minim toleransi, tapi sekali lagi, pada diriya sendiri.
Tapi bagi saudaranya, seorang muslim adalah pengacara yang handal.
Selalu membela, berbaik sangka, mencari-cari kebaikan serta alasan untuk pemakluman, dan selalu berusaha sekuat tenaga agar ia terhindar dari hukuman-Nya.
Begitu, kan?
ah, dan maka sekarang,
sekeras apapun dirimu telah kau hukum dan perlakukan, seberat apapun kau (merasa) telah berjuang, jangan pernah kau serta-merta berperilaku keras dan menyamaratakan.
wal yatalaththaf..
“ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imron: 159)
Ia ibarat kaca yang berdebu
Jangan terlalu keras membersihkannya
Nanti ia mudah retak dan pecah
Ia ibarat kaca yang berdebu
Jangan terlalu lembut membersihkannya
Nanti ia mudah keruh dan ternoda
Ia bagai permata keindahan
Sentuhlah hatinya dengan kelembutan
Ia sehalus sutera di awan
Jagalah hatinya dengan kesabaran
Lemah-lembutlah kepadanya
Namun jangan terlalu memanjakannya
Tegurlah bila ia tersalah
Namun janganlah lukai hatinya
Bersabarlah bila menghadapinya
Terimalah ia dengan keikhlasan
Karena ia kaca yang berdebu
Semoga kau temukan dirinya
Bercahayakan iman
(Kaca yang Berdebu)
kita adalah sepasang kaca yang saling bercermin
bisa dengan begitu mudah melihat kesalahan satu sama lain
kadang kamu, dan mungkin seringnya aku, yang berdebu
tak masalah
selama masing-masing dari kita selalu siap bergantian untuk menyekanya
agar kembali bercahaya
tapi,
dengan lemah lembut tentunya
karena jika salah satu dari kita retak maka pada siapa diri akan berkaca?
No comments:
Post a Comment