Dulu sekali aku pernah meminta bisakah seandainya kita tak saling mengenal saja. Sehingga tak perlulah ada cerita, remah-remah tawa, bahkan kerat-kerat luka yang katamu akulah tersangkanya-Ah, kau saja yang tidak tahu, kau justru dengan segala perhatian hingga ketidakpedulian telah menyembiluku pelan-pelan-. Ya, percayalah dulu aku benar-benar pernah memintanya. meminta agar kita tak saling mengenal saja.
Awalnya kupikir itu mustahil, tapi Dia adalah Maha Kuasa untuk mengubah setiap pinta menjadi realita.
Dan, taraa..
Benar saja, sekarang kita nyaris benar-benar tak saling mengenal kurasa.
Entah kapan tepatnya semua bermula, hanya saja bincang kita kala senja itu mungkin salah satu tandanya.
Tak ada emosi, tapi aku masih aneh saja dengan pernyataanmu itu, sebab pada kata pergi, aku membayangkan akan ada ransel yang penuh bawaan, ada langkah-langkah menjauh, mungkin juga ada seseorang lain yang berdiri terpaku di beranda sambil menatap objek yang menjauh itu, lalu masih saja terpaku dengan menggigit bibir kala yang dipandang telah menghilang di sebuah tikungan. Tapi kata ‘tak kemana-mana’ menyertai kata ‘pergi’ adalah hal baru. Hal baru yang mungkin tak terlalu cepat aku serap lewat otakku yang mungkin kian melambat. “Kau perlu sesekali main sudoku, Kawan”, demikian katamu dulu sambil menepuk bahuku.
“Tapi kemana?”
Aku terkaget juga dengan kalimat tanyaku itu. Aku memang seringkali mengulang kalimat yang sama kala belum mampu memahami sesuatu. Itu juga yang sering kau katakan dulu. Tapi kau diam. Menatapku, tapi tak mengeluarkan kalimat yang sama untuk pertanyaan samaku itu.
Saat seperti ini, harusnya aku mengganti pertanyaan itu dengan pertanyaan lain seperti saat Hajar mengganti pertanyaannya kala Ibrahim tak juga berkata-kata dengan sebuah jawaban untuk pertanyaan awal. Tapi aku masih kesulitan mencari pengganti ‘apakah ini perintah Allah?’ seperti redaksional Hajar pada Ibrahim.
Beberapa waktu membisu, sampai kata-kata itu mencuat dengan sendirinya: “apakah ini untuk kebaikan—mu”. Tak jelek-jelek amat pertanyaan itu, meski aku ragu menyematkan ‘mu’ di akhirnya. Seperti peristiwa bersejarah ribuan lampau itu, aku tentunya mengharap kata ‘iya’ pada pertanyaanku itu. Tapi, harapku tak benar-benar tepat.
“semoga”,
sebab demikian lah katamu kemudian. Sama-sama satu kata, tak bersesuai dengan harapku, tapi ajaibnya membuatku lebih menyukai pilihan katamu. Kau memang selalu selangkah lebih maju dalam memilih kata yang sesuai. Kata ‘semoga’, aku tahu melingkupi keinginan dan kepasrahan. Kolaborasi yang mau tak mau memaksaku menyukainya . Ah, dalam hal ini, kau memang kerap memaksaku menyukai pikiran-pikiranmu. Keterpaksaan, yang ajaibnya, sekali lagi, terasa menyenangkan.
Dan sepertinya semenjak itu kita memutuskan untuk membiarkanmu berlayar di sungai penglupaan dan membiarkanku berpayung ketidaktahuan. Ya, dan dengan begitu dengan sempurnanya kita perlahan mulai tak lagi saling mengenal.
Tak apa, aku baik saja dan bahagia. Aku tak merasa kehilangan apa-apa, hmm... mungkin lebih tepatnya aku lupa bagaimana bedanya dirimu pada saat ada dan tiada.
Mungkin seperti rangkaian kata, kisah kita juga butuh jeda agar lebih mudah terbaca maksudnya. Atau mungkin juga ini adalah titik dari bab panjang yang melelahkan dan membutuhkan kesudahan.
Mungkin seperti rangkaian kata, kisah kita juga butuh jeda agar lebih mudah terbaca maksudnya. Atau mungkin juga ini adalah titik dari bab panjang yang melelahkan dan membutuhkan kesudahan.
mungkin lebih baik kita berpisah sementara, sejenak saja
menjadi kepompong dan menyendiri
berdiri malam-malam, bersujud dalam-dalam
bertafakur bersama iman yang menerangi hati
hingga tiba waktunya menjadi kupu-kupu yang terbang menari
melantun di antara bunga, memberi keindahan pada dunia
lalu dengan rindu kita kembali ke dalam dekapan ukhuwah
mengambil cinta dari langit dan menebarkannya di bumi
dgn persaudaraan suci; sebening prasangka; selembut nurani,
sehangat semangat, senikmat berbagi, dan sekokoh janji
(DDU)
dan saya merasakan hal yang sama..
ReplyDeleteentah siapa yang meninggalkan dan ditinggalkan,
padahal hanya jarak yang menjeda? tapi ternyata butuh hadirnya hujan untuk menutupi airmata yg jatuh :')
semoga Allah yang maha baik mempertemukan lagi di Firdaus A'LaNya, dengan saudari yang dirindu..n
hem..
walau kita tak sempat jumpa di dunia, smga kita berjumpa di surgaNya Allah yah teh'..
-andini-