Thursday, October 16, 2014

Bosan (Lagi)


Hai, mau menyimak racauanku kembali ?
Ah, sebenarnya aku tidak yakin kau akan membacanya. Setidaknya tidak saat ini. Malam selarut ini mungkin kau sudah bermigrasi ke alam mimpi. Tapi tak apa, besok atau lusa tulisan ini masih ingin bisa kok kau baca..

Aku ingin kembali bercerita padamu tentang rasa bosan-jangan bosan, ya- dan juga beberapa rasa yang akhir-akhir ini aku khawatirkan. Pasti kau tahu bahwa diantara kita sebenarnya akulah mahluk yang lebih gampang merasa bosan. Ya, bahkan pada hal-hal yang menurutku menyenangkan. Dan tersebab oleh itu aku sungguh khawatir jika kisah kita pada akhirnya akan menjadi klise dan membosankan. Tidak hanya bagiku, mungkin justru bagimu, atau bagi kita berdua di saat yang bersamaan. Tak hanya itu. Aku juga mengkhawatirkan jika suatu saat emosi kita membadai. Yang seperti dikatakan teman kita, badai pasti berlalu tetapi biasanya ketika ia berlalu semuanya sudah porak poranda.



Hingga akhirnya kita seperti tersesat di jalan yang paling kita kenal, merasa gamang. Lalu sejenak mempertanyakan kemana mahluk bernama cinta yang pernah membuat semu merah di wajah kita seperti rebusan udang, atau yang pernah membuat perut kita serasa berisi kupu-kupu yang beterbangan.

Sungguh.. terkadang membayangkannya saja bisa membuatku sedemikian khawatir.

Ah, tapi justru ini adalah salah satu hal yang membuatku semakin mengerti mengapa kita dipasangkan. Dan pada suatu hari saat aku semakin megkhawatirkan semua itu, kau hanya akan dengan tenang meyakinkan,

Ya, adalah sangat mungkin suatu hari kita merasa bosan. Sangat mungkin juga yang menyapa langit kita tak lagi senja yang jingga atau hujan yang menggerimis malu-malu, bisa jadi petir dan badai yang suatu saat turut menghiasinya.

Tapi itu semua sungguh tak mengapa. Iya.. karena kita tahu bahwa kita tak saling mencintai hanya dengan rasa, tapi kita saling mencintai dengan iman yang kita punya.

Misalnya seperti ini, bisakah kita tetap berperilaku baik pada orang yang sebenarnya sangat-sangat membuat kita kesal ? Bisa, asal kita meyakini (mengimani) bahwa perilaku seperti itu yang Allah suka.

Atau pernah tidak merasa bosan sholat tetapi kita tetap sholat ? Bosan tilawah tetapi kita tetap tilawah? Merasa berat untuk bayar zakat tetapi kita tetap bayar zakat? Atau mungkin bosan dan malas kuliah dan sebagainya. Pasti pernah kan ya? Lalu mengapa tetap kita lakukan meskipun kita bosan? Karena kita masih meyakini (mengimani) konsekuensi jika tidak melakukannya.

Lagipula dalam suatu buku dikatakan, bahwa tak hanya perasaan yang memicu tindakan, tapi juga sebaliknya, tindakan akan memicu perasaan. Oleh karena itu mungkin pernah ada suatu masa kita merasa tidak khusyuk sholat namun tetap berusaha sebisa mungkin untuk khusyuk, kemudian tetiba saja ada titik dimana kita begitu ingin meangis dan menjadi sangat khusyuk dengan sendirinya. Entah karena teringat banyak dosa atau karena merasa takut pada Allah.

-----

Ah, iya.. kau selalu membuatku ingat, degan cara-caramu sendiri, bahwa kisah kita bukan sekedar tentang remeh temeh perasaan, kisah kita adalah tentang komitmen dan keimanan.

Maka (semoga bisa selalu) di saat aku menjadi sungguh menyebalkan kau akan tetap berusaha memperlakukanku dengan penuh kebaikan. Maka di saat badai hebat menyapa aku akan berusaha tak segan segera mengetuk pintu ridhomu tak sampai lewat satu malam. Atau saat kita sungguh merasa saling bosan, kita akan tetap berusaha saling bertatapan dengan kasih sayang. Ya, semua itu dengan alasan 'sederhana' karena kita tahu keimanan kita mengajarkan demikian. Sesederhana karena kita tahu Ia-lah yang perintahkan. Begitu, kan ?
:')


-----


"Berjalan berdua pasti lebih lambat dari berjalan sendirian, oleh karena itu asas dari semua hubungan adalah kesabaran"

Justru terkadang kita memang membutuhkan sedikit konflik...


Ketika gerak lurus dengan laju konstan itu mulai menjemukan, itulah kemudian gunanya tanjakan, itulah kemudian manfaat tikungan, itulah kemudian faedah polisi yang tiduran. Ya, kita memang perlu menyepakati ini, bahwa berkendara dalam sebuah jalan yang lurus nan lengang dengan kecepatan segitu-segitu saja, memang ada bahayanya juga. Ngantuk bisa dengan halus menyerang. Amat lembut, perlahan-lahan. Lalu yang terjadi amat tak tertanggungkan; selip, menabrak pembatas jalan, sukur-sukur kalau tak terjerumus ke jurang.

Maka, tanjakan, tikungan, lubang-lubang, atau polisi tidur tadi, adalah sebuah variasi untuk mewarnai aktivitas gerak lurus beraturan kita tadi. Sebuah polisi tidur akan memakasa kita mengurangi kecepatan jika tak ingin penumpang didalanya terlunjak-lunjak. Dan untuk mengurangi kecepatan, kita perlu mengerem untuk memberikan perlambatan. Ya, memang, ada gesekan di sana. Ada energi yang sia-sia terkonversi menjadi kalor. Tapi tak apa. Sebab itu sesaat saja, sebab yang kita dapatkan dari itu boleh jadi lebih banyak. Itu akan memberi kita kesadaran, tak terbuai dengan laju yang mulus nan datar-datar saja. 

Begitu juga tikungan. Begitu juga tanjakan dan lubang-lubang kecil di jalanan. Itu menjadi penting. untuk sebuah kesadaran, untuk sebuah evaluasi diri. Setelah itu kita boleh saja ber-GLB lagi, untuk kemudian menemui tikungan lagi, lubang lagi. Begitu seterusnya. Begitu seterusnya.


Ketika reaksi berkesetimbangan itu mulai menjemukan, itulah kemudian guna lingkungan. Ya, kita memang perlu menyepakati ini, bahwa sebuah reaksi yang telah mengalami kesetimbangan memang laiknya sebuah zat yang sudah berhenti bereaksi. Tak ada perubahan yang teramati. Bertahun-tahun tetap seperti itu memang agaknya tak baik juga. Maka lingkungan itu tadi yang berperan. 

Ah, kita perlu mengahangatkannya. Kita perlu memberi tambahan kalor untuk menaikkan suhu guna menggeser-geser kesetimbangan. Panas, akan menggeser reaksi ke arah reaksi yang endothermis, hingga laju reaksi yang ke arah endothermis lebih besar dari pada yang ke arah eksothermis. Hingga keadaan menjadi berubah, hingga konsentrasi tak lagi sama, hingga suasana baru kembali tercipta, hingga kesetimbangan baru lah yang ada. Suatu saat, kejemuan dengan kesetimbangan yang sudah baru itu boleh jadi kambuh, tapi kita sudah tahu obatnya. Kalau tak menghangatkannya, mungkin kita perlu mengubah tekanannya.

(dikutip dari buku "KEEP CALM AND READ QURAN" tapi lupa halaman berapa ^.^)











No comments:

Post a Comment