Tuesday, October 15, 2013

Ismail Kita


Kemarin malam tidak sengaja menonton sebuah acara di televisi. Acara tersebut mengundang beberapa pembicara, selain Ustadz Yusuf Mansyur dan seorang pakar komunikasi, diundang pula seorang ibu yang (katanya) duafa. Mengapa saya bilang "katanya"? Ah, karena ternyata setelah mengikuti acara tersebut lebih lanjut saya berani berkata ibu itu kaya..sungguh kaya hatinya :')


Ibu yang "kaya" itu bernama bu Sumarlin. Beliau berprofesi sebagai pembantu rumah tangga. Dengan penghasilan hanya kurang dari Rp 20.000,- per hari, ibu Sumarlin telah berkurban sebanyak 4x. Bahkan tahun ini, ibu yang bersuamikan tukang bakso keliling ini akan turut patungan kurban sapi senilai Rp 2.250.000,-.

Yang membuat saya semakin tertohok-tohok adalah dialog-dialog antara bu Sumarlin dan sang pembawa acara. Ketika Alfito, sang pembawa acara, menanyakan  apakah tidak sayang uang yang dikumpulkan dengan susah payah kok malah diperuntukkan buat berkurban? Kenapa tidak digunakan untuk kredit motor saja? Dengan diiringi tawa lepas, bu Sumarlin hanya menjawab, “Ya, kalau buat beli motor kredit malah menjadikan beban pikiran saya, Pak. Kalau buat kurban kok perasaan saya jadi tenang.”

“Apa tidak ada perasaan sayang Bu, uang sebanyak itu dikurbankan begitu saja? Kenapa tidak buat beli emas atau ditabung saja?”

"ya kalau saya selamat, kalau malah diincar orang (gara-gara punya emas) bagaimana?"

Mendengar jawaban-jawaban bu Sumarlin sang pembawa acara terlihat semakin penasaran dengan jalan pikiran bu Sumarlin,
"terus terang, jalan pikiran Ibu Sumarlin ini belum bisa diterima secara rasio oleh saya pribadi.. sebenarnya apa sih yang mendorong ibu untuk berkurban?
dan bu Sumarlin menjawab dengan sederhana,
"karena saya orang Islam.."

#JLEB
#SKAKMAT

T_____T

Dan ternyata di usianya yang, hmm.. nah, ini ada bagian lucunya..
Ketika ditanya berapa usia beliau, beliau menjawab,
"hmm.. 65.." wah, sejenak saya berpikir, beliau terlihat awet muda sekali ya, namun ternyata beliau melanjutkan, " kalo dari 65 ke 2013 berapa, ya?"
:D
ternyata beliau kelahiran tahun 1965 ^.^a

ya, dan ternyata di usia beliau kini, beliau dan sang suami belum dikaruniai keturunan. Beliau pernah memiliki anak tapi meninggal ketika usia 1 minggu dan pernah juga mengalami keguguran. Ketika ditanya apakah tidak marah dengan takdir Allah, beliau, masih dengan gayanya yang sumringah-tertawa lepas-dan bahagia, menjawab bahwa beliau ikhlas dengan takdir Allah.
"Ibu ini dari tadi saya lihat wajahnya sangat sumringah dan cerah, ya?"
"wah.. ini soalnya di make up..", jawab ibu Sumarlin (masih) dengan tawa lepas.

O_O
^_^
T_T

-----

Jika sang pembawa acara, para penonton, termasuk saya, masih dibuat melonjak-lonjak perasaannya dan juga tersentil-sentil rasio dan imannya oleh jawaban-jawaban ibu Sumarlin, maka berabad yang lalu ada kisah menyejarah yang lebih mengguncangkan. Tentang awal mula syariat kurban.

Many years ago, our father Ibrahim (AS) made a choice. He loved his son. But He loved God more. The commandment came to sacrifice his son. But it wasn’t his son that was slaughtered. It was his attachment. It was his attachment to anything that could compete with his love for God. And the beauty of such a sacrifice is this: Once you let go of your attachment, what you love is given back to you–now in a purer, better form. So let us ask ourselves in these beautiful days of sacrifice, which attachments do we need to slaughter?

-----

Ah, ya.. begitu mungkin makna sejati berkurban. Mengorbankan apa-apa yang kita cintai, bahkan yang paling kita cintai, untuk pembuktian bahwa cinta tertinggi hanya pada-Nya.

Intinya bukan pada sapi yang bu Sumarlin korbankan. Toh bagi mereka yang berkelebihan uang itu bukan nominal yang seberapa. Intinya pada bahwa ia mengorbankan yang terbaik yang ia punya, sebagian besar hartanya yang bahkan mungkin bukan hanya ia cinta tapi sangat pula ia membutuhkannya.

Intinya bukan pada perintah menyembelih seorang Ismail, intinya ada pada mengorbankan sesuatu yang begitu di nanti selama ini, sesuatu yang dulu sempat ditinggal di gurun pasir ketika masih bayi, buah hati nan menyejukkan mata yang begitu dicinta. Ya, intinya mengorbankan kecintaan lain selain kecintaan pada-Nya.

Maka hari ini, ketika darah-darah telah teralirkan, ketika daging-dagingnya telah dibagi dan bahkan mungkin telah mengenyangkan, adakah kecintaan-kecintaan lain itu telah mati dan turut terkurbankan pula?

“Katakanlah jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalannya, maka TUNGGULAH sampai Allah mendatangkan keputusannya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik (Qs. At-Taubah: 24)

Al Alamah Zamahsyari dalam tafsir Al kasyaf (2/181) menafsirkan ayat ini, dengan perkataanya,”Ini adalah ayat yang sangat keras, tidak ada ayat yang lebih keras darinya.”


adakah kini kita (saya) telah mengorbakan "ismail-ismail" kita (saya)?


T_T



No comments:

Post a Comment