Saturday, September 28, 2013

Terlena


*ini bukan bahasan tentang lagu dangdut*


Sepotong dialog kemarin siang,

"Teteeeeh... aku bingung nih harus gimana.."


"Hmm.. masih inget kan cerita tentang seekor monyet yang lagi ada di atas pohon? Ketika ada angin yang kenceng banget monyet itu berpegangan erat dan karena itu dia ga jatuh dari atas pohon. Tapi setelah angin kencang dan badai berlalu, datanglah angin sepoi-sepoi. Angin sepoi-sepoi yang nyaman membuat monyet itu mengantuk dan tertidur, lalu tiba-tiba.. gubraak.. monyet itu jadi jatuh deh dari atas pohon. Ya, ternyata bukan angin kencang yang membuat monyet itu jatuh, tapi justru angin sepoi-sepoi yang dianggap tidak berbahaya dan menyenangkanlah yang menjatuhkannya. Jadi harusnya kamu tetap waspada dan ga gegabah di situasi seperti sekarang..."
"hoo, eh.. ihh.. jadi aku monyetnya?"
-___-"
haduh, #gagalpaham


*****
Pantas saja, baru paham sekarang mengapa-nya.
Mengapa saat saya membaca kisah-kisah perang Rasulullah serta para sahabat, seringnya pada saat pasukan berada di puncak, nyaris atau bahkan telah menang, pemimpin pasukan sering kali menyerukan
"ishbiru.. bersabarlah.. wattaqullah.. dan bertaqwalah pada Allah.."
dulu hal itu terasa begitu janggal. Mengapa yang diserukan justru kesabaran bukan kesyukuran? Bukankah kemenangan telah ada di hadapan?

Ah, iya.. tentu saja. Karena seringnya kemudahan dan kemenangan adalah sesuatu yang begitu melenakan. Membuat lupa untuk terus mawas diri dan berwaspada. Membuat lupa bahwa bisa jadi kemudahan dan kemenangan justru bentuk ujian yang sesungguhnya.

jadi teringat perkataan seorang ustadz,

Benar, sabar atas musibah juga adalah kebaikan. 

Tetapi selalu ada kebaikan di atas kebaikan. Itulah strata amal. Seorang yang mendapat jabatan, umumnya orang menganggap itu nikmat, tapi bagi mereka yang tinggi imannya menganggap itu adalah ujian berat, hingga butuh kesabaran yang kuat. Seorang gubernur di Basrah di masa Umar r.a tercatat sebagai kaum miskin yang bahkan wajib menerima zakat, suatu ketika berteriak ketakutan ketika khalifah mengirimkan setumpuk dinar, "telah datang kepadaku fitnah dunia!" kemudia ia sumbangkan seluruh dinar untuk rakyatnya. Begitulah sabar atas nikmat.

Sebenarnya, dalam nikmat itu berjuta ujian: apakah nikmat itu benar-benar digunakan untuk-Nya, apakah kita telah sadar bahwa rezeki itu dari-Nya, apakah kita justru berbangga dengan nikmat titipan-Nya? Dan pertanyaan intinya: apakah kita siap mempertanggungjawabkan nikmat yang telah Allah beri? Ini sesi mengerikan, karena selevel Abu Bakr r.a saja ketika terbayang Hari Pengadilan "Duhai, andaikan saja aku adalah rumput, yang kemudian dimakan oleh binatang ternak"


Cara terbaik ketika mendapat nikmat, semisal uang, adalah dengan menyerahkan semuanya untuk kebaikan, dalam rangka ibadah, bukan untuk berlalai-lalai, maksiat, atau membelanjakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Sebernarnya lebih berat sabar atas nikmat, daripada sabar atas musibah, jika kita mau jujur.


Sebaliknya, bersyukur atas nikmat memanglah kebaikan.
Tetapi selalu ada kebaikan di atas kebaikan. 

Bukankah lebih tinggi nilainya ketika seorang yang tertimpa musibah justru ia bersyukur?
Seorang yang bersyukur atas musibah, ia tidak pernah merasa nikmat yang ada itu sebagai nikmat yang sedikit. Sesakit apapun, semelarat apapun, ia merasa cukup dan merasa lapang hatinya.
Ia yakin bahwa setiap musibah adalah jalan pintas menuju surga, sarana tergugurnya dosa-dosa, dan tanda sayang Allah di dunia, karena setiap keikhlasan dalam musibah adalah tabungan pahala akhirat.
Dan sejatinya, tidak ada musibah yang berupa azab bagi setiap mukmin. Semuanya adalah cara Allah untuk melindungi kita agar tak semakin asyik berdosa.


Berkata Al-Ghazali, tidak mungkin seorang bersabar jika ia tidak bersyukur, dan tidak mungkin seorang bersyukur kecuali ia bersabar.
Keduanya saling melengkapi, saling mengisi.
*****

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,
(yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS Al Hadid : 22-24)


ah, dunia ini..
benar-benar penuh dengan hal yang mendistraksi.
semoga dalam situasi apapun Allah senantiasa membersamai dan diri dikarunia ilham untuk memahami apa-apa yang Ia sukai..

>.<

1 comment: