"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia bicara yang baik atau diam." (HR. Bukhari dari Abu Hurairah ra.).
Sebagian kaum muslimin memahami secara salah, dimana bicara dan diam adalah pilihan yang setara, sama baiknya. Sehingga mereka bisa memilih antara bicara atau diam. Padahal, tidaklah demikian kita memahami teks hadits diatas. Bicara yang baik dan diam, bukanlah pilihan sikap yang setara. Bicara yang baik, lebih utama daripada diam. Bicara menyuarakan kebaikan yang meluruskan kemungkaran, bicara tentang kebenaran yang memisahkan dari kebathilan, dan bicara yang menyampaikan keindahan dan kemuliaan Islam, jauh lebih baik daripada diam.
Dalam berbagai teks hadits maupun al-Qur’an, Islam selalu mendorong orang-orang beriman untuk bicara. Bicara yang baik dan benar. Orang beriman didorong untuk bisa mengemukakan pendapat yang baik dan benar. Untuk bisa bicara yang baik, memerlukan ilmu yang mendalam dan wawasan yang luas atas permasalahan yang dibicarakan. Maka, menjadi ciri dan karakteristik orang beriman adalah senantiasa bersemangat menuntut ilmu dan memperluas wawasannya. Kegiatan belajar mengajar, dalam berbagai bentuk dan metodenya, menjadi bagian aktifitas keseharian seorang beriman. Menimba ilmu melalui ta’lim, sekolah formal, membaca buku dan literatur, menjadi sesuatu yang akrab dalam kehidupan orang beriman. Demikian pula halnya dengan mengikuti berita dan informasi yang mutakhir, menjadi suatu kebutuhan bagi orang beriman. Tidaklah mungkin pembicaraan menjadi baik apabila ia tidak memiliki relevansi dengan situasi dan kondisi yang terjadi.
Apabila orang beriman malas untuk menuntut ilmu, menutup diri atas informasi dan berita yang terjadi, maka pembicaraannya sangat mungkin menjadi salah, dangkal dan picik. Pada keadaan seperti ini, diam menjadi pilihan yang lebih baik daripada bicara. Dan pilihan ini, jelas tidak lebih baik kedudukannya daripada bicara yang baik. Diam atas suatu permasalahan karena tidak memiliki ilmu dan pengetahuan tentang hal tersebut, diam atas suatu peristiswa karena tidak mengikuti perkembangan yang terjadi atas peristiwa tersebut, menjadi pilihan yang lebih baik, daripada bicara ngawur dan melantur.
Selain memiliki ilmu yang mendalam dan wawasan yang luas atas suatu permasalahan, agar pembicaraan seorang beriman itu baik, ia pun dituntut untuk mampu memperkirakan dampak dari pembicaraannya. Mempertimbangkan akibat dari ucapannya, apakah menjadi lebih baik, tetap, ataukah malah lebih buruk. Seorang beriman akan menyusun rangkaian katanya sehingga menjadi bahasa yang mudah difahami oleh orang yang diajaknya bicara. Ia pun memperhatikan situasi dimana ia bicara, mempertimbangkan kondisi para pendengarnya. Isi pembicaraan yang baik pun akan kehilangan maknanya apabila tidak memperhatikan situasi dan kondisi dimana pembicaraan dilangsungkannya. Bila demikian halnya, maka diam menjadi pilihan yang bijak. Diam menjadi lebih baik daripada bicara tanpa makna dan sia-sia, bukan lebih baik daripada bicara yang baik.
Jadi, antara bicara dan diam, bukanlah pilihan yang sejajar, tetapi bertingkat. Orang beriman diperintahkan untuk bicara, bicara yang baik, bicara tentang kebenaran dan keadilan. Bila ia tidak mampu bicara yang baik, barulah diam menjadi alternatif yang baik dan bijak. Betapa banyaknya, perintah maupun anjuran agar orang-orang beriman itu bicara. Pada satu saat, Rasulullah SAW bersabda: "Katakanlah kebenaran walaupun pahit!"
Adakalanya ucapan yang baik akan menghasilkan resiko yang tidak mengenakkan, baik bagi yang bicara maupun bagi yang mendengarnya. Itulah resiko bicara baik. Orang beriman hanya disuruh untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang sebaik-baiknya, termasuk mempertimbangkan kemungkinan dampak dari pembicaraannya. Lebih daripada itu, hasilnya diserahkan kepada Allah SWT. Adakalanya pembicaraan yang baik itu, menimbulkan resiko atas harta, kedudukan dan bahkan bisa membahayakan kehidupannya. Orang beriman menyadari atas resiko ucapannya, dan ia telah memperhitungkannya masak-masak, karenanya ia siap menerimanya. Dalam hadits yang lain pun, Rasulullah SAW pernah mengingatkan: "Jihad yang paling utama adalah menyatakan kebenaran dihadapan penguasa yang dzalim."
Jelaslah, diam menjadi pilihan yang baik, apabila kita tidak memiliki ilmu dan pengetahuan atas suatu permasalahan yang hendak diperbincangkan. Daripada bicara melantur dan ngawur, diam menjadi pilihan yang baik. Diam pun menjadi alternatif yang bijak, apabila setelah dipikirkan dan dipertimbangkan masak-masak, pembicaraan yang baik sekalipun menjadi tidak berguna apabila ia melihat situasi dan kondisi yang dihadapinya tidak memungkinkan untuk mengharapkan hasil yang baik. Adapun berdiam diri atas suatu kemungkaran atau kemaksiatan yang terjadi di sekelilingnya, sama sekali bukan pilihan yang lebih baik. Diam atas kemungkaran, menunjukkan kondisi keimanan yang paling lemah dari orang beriman.
Jadi, bicaralah kita layaknya orang beriman. Bicara atas dasar keimanan, yang senantiasa ingat pada yaumil akhir dimana seluruh ucapan kita tidak akan pernah luput dari hisab dan balasan. Dengan keimanan seperti itulah, kita bicara sesuatu yang baik dan benar dengan ilmu dan pengetahuan yang memadai, kita bicara dengan bahasa yang mudah dimengerti pendengarnya, kita bicara dengan cara yang sebaik-baiknya. Setelah memperhatikan situasi dan kondisi yang dihadapi, memperhitungkan dampaknya. Bicaralah, lalu bertawakal atas hasil dari pembicaraannya. Demikianlah orang beriman bicara, sebagaimana diperintahkan dalam tuntunan Islam.
Wallahua'lam...
bahwasanya bibir ini paling dekat dengan telinga sendiri
maka segala ucap nasehat sejatinya adalah pengingat bagi sang pengucap >.<
No comments:
Post a Comment