Friday, May 25, 2012

Berubah dengan Sederhana (part1)


Apa yang membuat orang sulit berubah?
Kondisi lingkungan dan keluarga yang tidak kondusif?
Keterbatasan fasilitas dan materi?
Atau ujian dan cobaan yang tak henti membadai?
atau..atau..atau..atau sejuta dalih dan argumen (yang tampak) logis lainnya?

Ah..mungkin kata berubah nampak terlalu sakral,penting,dan besar sehingga akhirnya kita terlampau memikirkannya (hingga lupa melakukannya) dan membuat berubah menjadi sesuatu yang rumit dan sulit.

Padahal perubahan itu sederhana..
sesederhana kata yang tak sempat diucapkan kayu pada api yang menjadikannya abu
sesederhana kata yang tak sempat diucapkan awan ketika ia meniada dan menjadi hujan.
*ah,nampaknya saya terlalu gombal -_-"

Tapi memang begitulah,menyederhanalah maka kau kan berubah.

Sederhana Terhadap Nasehat
Nasehat adalah cikal bakal perubahan,pemantik seseorang untuk bermuhasabah untuk kemudian berubah. Sedangkan sederhana tentu adalah kata yang jauh maknanya dari sepele dan tentunya menyederhanakan bukan saudara kembar dari meyepelekan. Lalu bagaimana caranya bersikap sederhana terhadap nasehat ?

Adalah termasuk suatu ketidaksederhanaan ketika kita "menyakralkan" momen tertentu untuk menerima nasehat. Misalnya, hanya ketika mengikuti ta'lim, mendengar khotbah, mengikuti suatu dauroh, berulang tahun, dsb. Hingga akhirnya kita terjebak dalam formalitas, kecanduan momentum, dan akhirnya sulit untuk berubah. Padahal kita membutuhkan nasehat setiap saat dan setiap waktu . Oleh karena itu, sederhanalah. Ambil nasehat kapan saja dan dimana saja kita menemuinya. Saat dalam majelis ilmu bahkan saat kita sekedar sedang menunggu angkutan umum di perempatan jalan.

Ketidaksederhanaan lainnya adalah ketika kita membatasi dan menyeleksi mana orang yang layak kita dengarkan nasehatnya. Terkadang mungkin kita terserang arogansi yang akut -entah karena jabatan, senioritas, keluasan ilmu atau hal semu lainnya- sehingga kadang menjadi enggan menerima nasehat bila bukan dari orang-orang yang kita anggap layak.

Jika semakin tinggi nilai diri/kedudukan kita lalu semakin sedikit orang yang layak menasehati kita, bukankah hal itu layaknya kita meniti jalan yang berliku dan penuh jurang namun dengan penerangan yang semakin sedikit dan redup?

Ah..saya jadi terusik oleh sebuah kisah yang pernah terukir indah dalam sejarah...


Khudzaifah bin Al Yaman ra dalam suatu kesempatan, mendatangi sahabatnya, Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. Tidak seperti biasanya, Khudzaifah yang juga disebut shahibus sirri (penyimpan rahasia) Rasulullah saw itu mendapati Umar dengan raut muka yang muram, penuh kesedihan. Ia bertanya, "Apa yang sedang engkau pikirkan wahai Amirul Mukminin?"


 Jawaban Umar sama sekali tidak terduga. Kesedihan dan kegalauan hatinya, bukan karena banyak masalah rakyat yang sudah pasti membuatnya letih. Kali ini, Umar justru tengah khawatir memikirkan kondisi dirinya sendiri. 


 "Aku sedang takut bila aku  melakukan kemungkaran, lalu tidak ada orang yang melarangku melakukannya karena segan dan rasa hormatnya kepadaku," ujar Umar pelan. Sahabat Khudzaifah segera menjawab, "Demi Allah, jika aku melihatmu keluar dari kebenaran, aku pasti akan mencegahmu." Seketika itu, wajah Umar bin Khattab berubah senang. "Alhamdulillah yang menjadikan untukku, sahabat-sahabat yang siap meluruskanku jika aku menyimpang," katanya.


Wahai Amirul Mukminin, siapa yang tak tahu keutamaan akhlakmu? Dan hanya diri yang terlena yang tak tahu bagaimana jauhnya derajat kami dibandingkan engkau. Namun masih saja engkau cemas dan khawatir jika tak ada yang menasehati dan meluruskan. Bahkan berharap siapa pun tak terbelenggu rasa segan dan hormatnya padamu agar mereka dapat leluasa menegurmu...:'(


Ya, rasanya kita (sepertinya lebih tepatnya saya T_T) harus banyak belajar untuk sesederhana mungkin menyikapi nasehat.


sederhanalah..maka kau kan berubah ^_^








No comments:

Post a Comment