Wednesday, July 3, 2013

Omong Kosong


Kemarin sore di suatu kajian saya berusaha duduk di paling belakang, ya, ceritanya ingin berlapang-lapang dalam majelis (alesan). Jadi sebenarnya sedang berusaha agar tak terlihat oleh sang ustadz karena ada "hutang" tulisan yang belum saya penuhi. >.<

Sampai hampir menjelang usai kajian nampaknya ustadz tersebut tidak melihat saya, ah, tapi ternyata salah. Dia tiba-tiba bertanya makna dari suatu kata.



"ada yang bisa jawab? ayo..ada? Neng lintang mungkin.."
ngeek..
"eh, oh..iya, ustadz..blablabla.."
"hmm, iya, bisa juga. Oia ngomong-ngomong udah kirim tulisannya ke email saya?"
"afwan, ustadz..belum.."
 setelah itu sang ustadz jadi membahas tentang pentingnya kata-kata, baik dalam tulisan maupun lisan.

"makna (maupun tujuan) dari kata tersebut harus jelas, karena suatu kata nantinya akan berkembang menjadi kalimat, kalimat berkembang menjadi paragraf, paragraf berkembang menjadi suatu tulisan panjang, dan akhirnya dari tulisan itu muncul suatu konsep atau gagasan. Kalau sedari kata saja sudah tidak jelas, ambigu, apalagi sia-sia, mau seperti apa konsep atau gagasan yang akan dibangun dan disampaikan.."

#jleb

jadi teringat tentang laghwi, omong kosong..

“Laghwi” dalam bahasa Arab ialah omong kosong, cakap tak tentu ujung pangkal, sehingga menjatuhkan martabat budi pekerti yang melakukannya. Ini­lah yang disebut oleh orang Deli “membual”, oleh orang Jakarta “ngobrol” dan oleh orang Padang “ma-hota”. atau oleh daerah lain disebut juga “memburas”. Pertama melakukan kesaksian dusta, kedua obrolan yang tidak tentu ujung pangkal, amatlah membahayakan dan menjatuhkan mutu masyarakat. Karena kesaksian dusta di muka Hakim, seorang jujur tak bersalah bisa teraniaya, ter­hukum dalam hal yang bukan salahnya. Dan bisa pula membebaskan orang yang memang jahat dari ancaman hukuman. Kesaksian dusta di muka hakim adalah termasuk dosa besar yang payah dimaafkan.
Kata-kata yang “laghwi” cakap kosong, omong kosong, ngobrol yang tidak tentu ujung pangkal, tidaklah layak menjadi perbuatan daripada `Ibadur Rahman. Seorang hamba Tuhan Pemurah mempunyai disiplin diri yang teguh. Lebih baik berdiam diri daripada bercakap yang tidak ada harganya. Kalau hendak bercakap juga, isilah lidah dengan zikir, menyebut dan mengingat nama Allah… (Tafsir Al Azhar)
Ah, ya..
Menjaga titik keseimbangan memang bukan perkara gampang. Orang bisa terpental dari titik ekstrim satu ke titik ekstrim lainnya. Dari berlebih-lebihan dalam keseriusan hidup kepada kehidupan yang sangat-sangat cair. Sedemikian cairnya hingga tak punya nilai sedikit pun. Baik nilai ukhrawi, maupun duniawi. Tidak ada pahala sebagai buah ibadah. Tidakjuga penghasilan sebagai hasil kerja. Itulah yang disebutlaghwisebuah pekerjaan yang tidak punya nilai apa pun. Buat dunia, apalagi akhirat.
Ada dampak buat mereka yang terbudaya dengan laghwi. Dampak itu mengalir dalam jiwa. Pelan tapi pasti. Itulah kegelisahan dan kesedihan. Suatu hal yang justru sebelumnya ingin dikubur dalam bentuk santai dan bermudah-mudahan. Rasulullah saw. mengatakan, “Seorang yang kurang amalnya maka Allah akan menimpanya dengan kegelisahan dan kesedihan.” (HR. Ahmad)
Ini sulit tentunya-apalagi bagi seorang wanita. Apalagi wanita itu aku pula- untuk tak banyak berbicara. Tapi biarlah tiap cerita-cerita panjang kita menjadi untaian pengingat pada-Nya. Tiap canda-canda menjadi penyegar jiwa. Ya, tiap kata memiliki makna. Jika bukan, maka ijinkan (dan ingatkan juga) aku untuk diam.

Kata-kata yang “laghwi” cakap kosong, omong kosong, ngobrol yang tidak tentu ujung pangkal, tidaklah layak menjadi perbuatan daripada `Ibadur Rahman. 
:'(

No comments:

Post a Comment