Tuesday, August 20, 2013

Pembatas


Senja kemarin berbincang dengan seorang sahabat, tentang keluhnya yang ingin menjadi dewasa. Yah, perbincangan tentang kedewasaan bagi muda-mudi(?) seusia kami jelas bukan lagi sekedar pilihan, ini tuntutan.



Katanya, dirinya masih sering terlalu banyak ragu, terlalu banyak memikirkan ini-itu sebelum memilih sesuatu, terlalu hati-hati, traumatik, dan gampang panik. Terlalu tidak bisa tenang dan santai. Ya, kira-kira demikian. Padahal dalam bayangannya, seorang yang dewasa itu ialah yang bisa menghadapi masalah dengan tenang dan memilih dengan tepat tanpa keraguan. sedangkan selama ini, terlalu banyak kesempatan berlalu karena ragu dan terlalu tertekan pikiran karena terkekang dan menyalahkan masa lalu.

Lalu saya, ah, benar-benar kebalikan dirinya. Terkadang terlampau santai. Tidak terlalu suka berpikir terlalu panjang dan njelimet untuk memutuskan sesuatu. "Que sera..sera.. what ever will be.. will be.."
kalau kemudian ada masalah atas yang saya putuskan, ya, sudah, itu kan resiko.
"Bagus, lin kalo bisa kayak gitu.."
Ah, tidak juga. Tidak bagus juga, dan belum masuk kategori dewasa juga sebenarnya. Banyak kecerobohan yang kadang saya lakukan karena terlalu santai dan tidak berpikir panjang.

Lalu bagaimana agar kami dewasa?
kami termenung..
Aha, ya, kuncinya memang ada pada keseimbangan. Tidak berlebihan. Karakter kami bisa jadi sama-sama baik tapi pada kadar yang tepat.
Penuh pertimbangan itu perlu, tapi maju memutuskan juga harus dilaksanakan. Terlepas dari belenggu negatif di masa lalu juga dibutuhkan, tapi perlu juga mewaspadai apa yang ada di depan.

"Tapi gimana, lin biar bisa kayak gitu?"
"hmm, mungkin memang butuh waktu. Semacam latihan berkali-kali. Toh dewasa memang bukan titik yang harus dilompati, ianya adalah jalan panjang yang harus kita susuri, begitu, kan?"
"ada ga sih cara cepetnya?"
iya, juga.. ada ga sih cara cepetnya?
kami kan harus sesegera mungkin dewasa..

Aha..
"Mati.. kematian.."
tetiba terlintas kata itu.
"Maksudnya, lin?"
"iya.. kematian. Masalah kita adalah karakter masing-masing yang kadang berlebihan, kan? Nah, dengan mengingat kematian kita akan jadi seimbang. Kematian akan jadi pembatas kita. Aku yang terlalu santai dan berpikir panjang, kalau ingat mati pasti akan berpikir setidaknya dua kali. Ga bisa berpikir, 'kan masih ada besok'. Kalo besok udah mati? Mau mati dalam kondisi menyesali keputusan yang ceroboh? Ga, kan?
kamu yang terlalu khawatir dan takut akan masa depan, jika ingat kematian, pasti akan segera memutuskan. Toh masa depan yang ditakutkan itu belum pasti, yang pasti kan hari ini, hari dimana kita belum mati. Jadi kamu bakal lebih nyantai dan tenang.."


ah, ya, demikian.
Doakan kami ya agar senantiasa istiqamah meretas jalan kedewasaan.

Kalau Rasulullah tidak memilih lebih cepat dewasa dan tidak berkata, "bukan untuk hal ini aku dicipta" pada pemuda sebayanya ketika mengajak bermain dan bersenang-senang, mungkin, dengan ijin Allah, ketika beliau wafat risalah belum terselesaikan.

Kalau al fatih tidak memilih lebih cepat dewasa, mungkin pada umurnya yang ke-23 konstatinopel belum tertaklukkan. Dan bisa jadi juga belum tertaklukkan sampai sekarang.

Lalu apa jadinya jika kami tidak memilih untuk dewasa sekarang?




*aduh tolong dibantu, kalau bisa ingin sekali berteriak di telinga lintang, bilang padanya untuk jadi dewasa dan jangan terlalu sering kekanak-kanakan.
Mau jadi apa dia kalau tidak memilih jadi dewasa? Bagaimana kalau adik-adik dan teman-temannya yang polos dan baik hati itu ada yang menyontohnya?
ah, sungguh keterlaluan!*



No comments:

Post a Comment